Pages

Friday, December 11, 2015

Soal Tugas UTS LOGIKA UNY 2015


UTS LOGIKA
SEJARAH RINGKAS PERKEMBANGAN EPISTEMOLOGI DAN LOGIKA


logo uny
logo uny


Oleh :
Rana Pratama
15419141005

Dosen Pengampuh :
Pratiwi Wahyu W. M.Si


Universitas Negeri Yogyakarta
Fakultas Ilmu Sosial
Program Studi Ilmu Komunikasi
2015




PENDAHULUAN
SEJARAH RINGKAS PERKEMBANGAN EPISTEMOLOGI DAN LOGIKA
A. Sejarah Ringkas Perkembangan Epistemologi


  Sejarah perkembangan Epistemologi sejalan dengan perkembangan manusia memperoleh pengetahuan. Berdasarkan pengalaman manusia, pengetahuan dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu: pengetahuan spontan dan pengetahuan reflektif- sistematik. Sejarah perkembangan pengetahuan manusia akan mudah dilacak dengan menelusuri tumbuh kembangnya pengetahuan manusia yang bersifat reflektif- sistematik. Menelusuri jejak perkembangan Epistemologi tidak dapat lepas dari pemikiran manusia para era peradaban Yunani Kuno sampai pada peradaban Eropa dan Amerika Serikat dewasa ini. Pengetahuan manusia berevolusi sejalan dengan kesadaran manusia terhadap sesuatu dari pemahaman yang sederhana sampai ke pemahaman yang kompleks. Perkembangan pengetahuan manusia melahirkan berbagai jenis pengetahuan sistematis, misalnya: ilmu, filsafat, theologi, ideologi, dan teknologi.sebagaimana ada pada abad dewasa ini.  Oleh karena itu, filsafat sering disebut sebagai induknya ilmu pengetahuan. Filsafat Yunani Kuno ini berkembang dari abad keempat sebelum masehi sampai abad keenam sesudah masehi.



  Zaman Romawi kurang ditandai dengan pemikiran pengetahuan yang sistematik, tetapi yang berkembang adalah pemikiran tentang negara dan perang, hukum, politik, perdamaian, sastra, dan kebudayaan. Tokoh-tokoh yang dapat disebutkan dalam perkembangan pemikiran zaman ini adalah Stoa, Epicurus, dan Plotinus. Walaupun pemikiran tokoh-tokoh ini kurang memberi konstribusi terhadap perkembangan pemikiran yang sistematis, tetapi sedikit banyak memberi sumbangan pula terhadap perkembangan Epistemologi, misalnya gagasannya mengenai "Elan Vital" (semangat hidup).


   Zaman abad tengah merupakan abad penting bagi perkembangan pengetahuan sistematik. Masuknya agama Nasrani ke Eropa membawa perkembangan spesial bagi Epistemologi, karena pada abad ini terjadi pertemuan antara pengetahuan samawi dengan pengetahuan manusiawi, pengetahuan supranatural dengan pengetahuan rasional-natural-intelektual, antara iman dan ilmu. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah manakah yang lebih berbobot dan berkualitas: iman atau ilmu, kepercayaan atau pembuktian. Krisis ini kemudian memunculkan aliran dalam Epistemologi yang disebut Skolastik, yang berusaha menjalin dan mengkaitkan paduan sistematik antara ajaran-ajaran samawi (gereja katolik) dengan ajaran-ajaran manusiawi intelektual-rasional. Situasi ini menimbulkan pertemuan dan sekaligus pergamulan antara Hellenisme dan Semitisme.
Akan tetapi di dalam pergumulan tersebut terjadi supremasi Semitisme di atas alam pikiran Hellenisme. Oleh karena demikian kuatnya dominasi kekuasaan Semistik (gereja) dalam segala aspek kehidupan manusia, khususnya dalam dunia ilmu, maka abad tengah (6-15 Masehi) sering disebut dengan abad theologi atau abad kegelapan bagi dunia ilmu pengetahuan yang telah menelan korban nyawa seorang ahli astronomi, yaitu: Galelio. Abad pertengahan melahirkan beberapa tokoh
skolastik, misalnya Agustinus, Thomas Aquinas yang terkenal dengan pemikirannya : Ancilla Theologia.

   Ketika Eropa Barat dalam abad kegelapan sebelum memasuki abad modern (18-19 Masehi), tercatat dalam sejarah dunia Arab mengalami kejayaan. Bangsa- bangsa Arab mengalami kemajuan luar biasa dibanding Eropa, sehingga terjadi "The Golden Age of Islam" yang ditunjukkan dengan filsuf-filsuf Islam, seperti Ibnu Rush, Ibnu Shina, Alfarabi, Aljabbar, Ibnu Khaldun, dan lain-lain. yang membawa buku- buku jaman Helenisme (khususnya buku karangan Aristoteles) ke kerajaan Kordoba (Turki). Filsuf-filsuf Islam inilah yang telah memberi sumbangan terhadap perkembangan pemikiran modern di Eropa Barat.

  
    Pemikiran Abad modern didahului dengan jaman Renaissance dan Aufklarung (zaman pencerahan) yang menyadarkan kembali manusia akan otonominya sebagai "animale rationale" yang mempunyai "rasio-intelektual", sehingga kehidupan manusia tidak lagi didominasi oleh agama (gereja katolik). Tata kehidupan dunia yang lebih baik dan sempurna yang menentukan adalah manusia. Abad ini ditandai dengan aliran-aliran Epistemologi, seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme, idealisme, positivisme yang kesemuanya memberikan perhatikan yang amat fokus terhadap problem pengetahuan. Optimisme yang dimutlakkan dari Aufklarung serta perpecahan dogmatik doktriner antara berbagai aliran baik di kalangan filsuf, ilmuwan, dan theolog sebagai akibat pergumulan Epistemologi modern yang demikian kompleks telah

menghasilkan krisis kebudayaan. Terjadinya krisis kebudayaan ini juga disertai dengan berbagai macam revolusi, seperti revolusi keagamaan (gerakan reformasi yang memunculkan agama Kristen Protestan), revolusi kebudayaan (Renaissance dan Humanisme), revolusi ideologi (Liberalisme, Sosialisme-Materialisme), revolusi politik (Revolusi Perancis), revolusi ilmu (Geosentrisme menjadi Heleosentrisme), revolusi industri (inovasi mesin-mesin industri), revolusi sosial, bahkan sampai meletusnya perang dunia pertama dan kedua.

 Abad kontemporer dimulai sejak abad 20 masehi atau sesudah perang dunia kedua yang menimbulkan kecemasan akan kesewenang-wenangan dan absurditas sejarah. Situasi kecemasan ini menimbulkan aliran-aliran Epistemologi dengan corak baru, misalnya: fenomenologi, eksistensialisme, filsafat hidup, filsafat tindakan, antropologi kefilsafatan. dan kehidupan manusia. Akibatnya problem Epistemologi kehilangan konteksnya, sehingga menyebabkan tumbuh pandangan-pandangan yang partial-deterministik, satu dimensional yang hampir kesemuanya mengorbankan manusia dan kemanusiaan sebagai kenyataan yang integral.

    Naskah buku Epistemologi dan Logika Pendidikan (L. Andriani P, dkk)
Persoalan hidup dan kehidupan konkrit manusia sebagai kenyataan yang integral yang menjadi fokus pemikiran aliran-aliran Epistemologi kontemporer adalah: manusia sebagai makhluk pribadi, makhluk sosial, kemerdekaannya, situasinya, kebersamaannya, evolusinya dan historisitasnya. Aliran-aliran ini juga berbicara mengenai kebudayaan, dialog, kebebasan, alienasi, kecemasan, dan sebagainya. Kesemua pemikirannya tidak disusun secara sistematik yang bersifat total integral, bahkan banyak yang bersifat anti-sistem.
    Contoh yang dapat diambil adalah aliran eksistensialisme yang theistik, misalnya Mircea Eliade dan eksistensialisme yang atheistik, misalnya: Nietzsche, Albert Camus. Mircea Eliade adalah tokoh eksistensialisme yang terkenal dengan gagasannya: manusia adalah Homo Religiosus, sedangkan Nietzsche terkenal sebagai eksistensialisme yang atheis, dengan pandangannya mengenai Kematian Allah, Anti Kristus-anti Moral, dan manusia tanpa Allah. (A. Sudiarja dalam Sastrapratedja, 1983).
Jika pada waktu awal aliran ini menolak deterministik-epistemologikal, dengan mengajukan pemikiran yang bersifat indeterministik (antideterministik), pada akhirnya aliran ini terjebak juga pada problem yang sama sebagaimana aliran sebelumnya yang dia kritik. Indeterministik dimutlakkan dan menjadi dalil hidup. Di samping itu deterministik-epistemologikal pada waktu itu, diganti dengan determististik pada bidang ekonomi-teknologi-politik. Akibatnya terjadi krisis dalam alam pikiran yang berdampak pada perkembangan sikap dan nilai-mlai pribadi, masyarakat, moral, kehidupan agama, politik, hokum, dan kenegaraan. Reaksi terhadap situasi ini, memunculkan aliran baru dalam Epistemologi yaitu: Neo-Marxisme, Fungsionalisme, Strukturalisme. Tokoh-tokoh mazhab Frankfurt dapat disebut sebagai penggagas aliran Neo-Marxisme ini. Dalam Epistemologi baru ini muncul konsep tentang paradigma, sebagaimana dikemukakan oleh Thomas Kuhn.

   Naskah buku Epistemologi dan Logika Pendidikan (L. Andriani P, dkk)
Seiring dengan lahirnya aliran ini, muncul pula aliran pragmatisme dan positivisme yang berpengaruh besar di Amerika Serikat dan Inggris dan diteruskan dengan lahimya aliran Analisis bahasa. Analisis bahasa mengatakan bahwa kebenaran dan kepastian adalah tidak lain daripada sifat dan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan Epistemologi berjalan di dalam dialektika antara pola absolutisasi dan pola relativisasi. Di samping itu tumbuh pula kesadaran bahwa pengetahuan itu adalah pengetahuan manusia. Bukan intelek atau rasio yang mengetahui, manusialah yang mengetahui. Kebenaran dan kepastian adalah selalu kebenaran dan kepastian di dalam hidup dan kehidupan manusia. Kebenaran dan kepastian tidak dapat berdiri sendiri di luar hidup dan kehidupan manusia. Kebenaran dan kepastian selalu terkait dengan sosialitas dan historisitas manusia (Pranarka, 1987).

B. Sejarah Ringkas Perkembangan Logika
    Pada era Yunani Kuno terdapat tokoh dari Stoa yang bernama Zeno dari Citium (±340-265 SM) adalah tokoh yang pertama kali menggunakan istilah Logika.
Namun demikian, sebenarnya Logika sudah terdapat dalam pikiran dialektis para filsuf mazhab Elea. Mereka telah melihat masalah identitas dan perlawanan asas dalam realitas. Tema tentang identitas dan perlawanan tersebut dalam perjalanan waktu dikembangkan oleh Aristoteles menjadi bagian penting dalam prinsip Logika. Di sampan itu kaum Sophis juga membuat pikiran manusia sebagai titik awal pemikiran secara eksplisit. Gorgias (±483-375 SM) dari Lionti (Sicilia), memulai dengan mempersoalkan masalah pikiran dan bahasa. Gorgias tokoh yang awal mula membicarakan masalah penggunaan bahasa dalam kegiatan pemikiran. Dia mempertanyakan dapatkah ungkapan mengatakan secara tepat apa yang ditangkap pikiran?
     Naskah buku Epistemologi dan Logika Pendidikan (L. Andriani P, dkk)
Logika, lebih-lebih yang bertalian dengan masalah ideogenesis, dan masalah penggunaan bahasa dalam pemikiran. Namun demikian logike episteme (logika ilmiah) sesungguhnya baru dapat dikatakan terwujud berkat karya Aristoteles (384- 322), (Poespoprodjo,1999).
    Aristoteles sebagai tokoh yang mengembangkan logika, melalui karyanya yang diberi nama To Organon oleh muridnya yang bernama Andronikos dari Rhodos, mencakup: (1) Kategoria (menyangkut istilah dan predikasi), (2) Peri Hermeneias (menyangkut proposisi), (3) Analytica Protera (menyangkut silogisme dan pemikiran), (4) Analytica Hystera (menyangkut pembuktian); (5) Topica (menyangkut metode berdebat), dan (6) Peri Sophistikoon Elegchoon (menyangkut kesalahan berpikir). Melalui karya-karyanya tersebut, Aristoteles telah mengurai persoalan kategori, struktur bahasa, hukum formal konsistensi proposisi, silogisme kategoris, pembuktian ilmiah, pembedaan atribut hakiki dan atribut bukan hakiki, sebagai kesatuan pemikiran, bahkan telah juga menyentuh bentuk-bentuk dasar simbolisme.
Pada era tersebut, Galenus amat berpengaruh disebabkan tuntutannya yang ketat atas Aksiomatisasi Logika. Galenus menyusun buku yang berjudul Logika Ordina Geometrico Demonstrata. Namun demikian, apa yang dicita-citakannya hanya belum kesampaian, dan baru terwujud setelah lama berlalu yaitu di akhir abad 17 Masehi ditandai dengan munculnya karya Sacheri yang berjudul Logica Demonstrativa.
     Era berikutnya disusul era dekadensi Logika yang cukup lama, yakni pada abad pertengahan. Pada era sebelumnya Logika berkembang karena selalu menyertai perkembangan pengetahuan dan ilmu yang menyadari pentingnya kegiatan berpikir dengan memperhitungkan bahwa setiap langkahnya harus dapat dipertanggungjawabkan. Pada abad pertengahan dimana pendalaman Logika hanya berkisar pada karya Aristoteles yang berjudul Kategoriai dan Peri Hermeneias, ditambah juga dengan karya Porphyrios yang bernama Eisagogen dan karya Bothius yang membahas pembagian, metode debit, silogisme kategorik hipotetik, yang biasa disebut Logika lama.

    Naskah buku Epistemologi dan Logika Pendidikan (L. Andriani P, dkk)
Karya Boethius khususnya di bidang silogisme hipotetis pada perkembangan berikutnya menjadi berpengaruh bagi perkembangan teori konsekuensi yang merupakan salah satu hasil terpenting dari perkembangan logika di Abad Pertengahan.
   Kemudian setelah tahun 1141 Masehi, karya Aristoteles semakin dikenal oleh kalangan luas termasuk keempat karyanya. Karya Logika Aristoteles kemudian dikenal sebagai Logika tradisional sekedar untuk membedakan dengan Logika modern. Logika modern disebut juga Logika Suposisi yang tumbuh berkat pengaruh para filsuf Arab. Logika yang tumbuh dari pengaruh filsuf Arab tersebut lebih mendalam dalam membahas suposisi untuk menerangkan kesesatan berfikir, dan tekanan terletak pada ciri-ciri term sebagai simbol tata bahasa dari konsep-konsep, (Poespoprodjo,1999). Selanjutnya Thomas Aquinas dan kawan-kawan mengusahakan lebih lanjut dengan melakukan sistematisasi dan mengajukan komentar-komentar dalam usaha mengembangkan Logika yang telah ada. untuk membuktikan kebenaran-kebenaran tertinggi.
Meskipun abad pertengahan merupakan abad kemerosotan Logika, namun pada abad ini telah tercatat berbagai pemikiran yang amat penting bagi perkembangan Logika.

  Misalnya karya Boethius yang orisinal di bidang silogisme hipotetik sesungguhnya amat berpengaruh bagi perkembangan teori konsekuensi yang merupakan salah satu hasil terpenting dari perkembangan Logika di Abad Pertengahan. Disamping itu, kemajuan yang dicapai pada abad pertengahan adalah dikembangkannya teori tentang ciri-ciri term, teori suposisi yang jika diperdalam ternyata lebih kaya dari semiotika matematik zaman kini.



   Hobbes (1588-1679) dalam karyanya Leviathan (1651) dan John Locke (1632-1704) dalam karyanya yang bernama Essay Concerning Human Understanding (1690), telah mengembangkan doktrin-doktrin yang sangat dikuasai paham nominalisme. Menurut pandangan kedua tokoh tersebut pemikiran dianggap sebagai suatu proses manipulasi tanda-tanda verbal dan mirip operasi-operasi dalam matematika. Mereka memberikan suatu interpretasi tentang kedudukan bahasa di dalam pengalaman. Tidak hanya kedua tokoh di atas, tokoh lain misalnya Francis Bacon dengan karyanya Novum Organum (London, 1620) yang mengembangkan Logika Induktif murni untuk menemukan kebenaran, serta Rene Descartes dengan karnyanya Discours de la Methode (1637) yang mengembangkan Logika matematika deduktif murni.
    Menurut Francis Bacon, metode induktif dilakukan dengan mendasarkan diri pada pengamatan empiris, analisis data, hipotesis, dan verifikasi atas hipotesis. Hambatan bagi metode induktif adalah prakonsepsi dan prasangka yang menyebabkan adanya kesesatan. Menurut (Poespoprodjo,1999), hambatan bagi metode induktif tersebut oleh Francis Bacon dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu:
1. The Idols of the Tribe (Idola Tribus), yaitu kesesatan yang bersumber dari kodrat manusia sendiri.
2. The Idols of the Cave (ldola Specus) atau kesesatan yang bersumber prasangka pribadi.
3. The Idols of the Market Place (Nola Fori), yaitu kesesatan yang disebabkan tidak adanya batasan term secara jelas.
4. The Idols of the Theatre (Nola Theatri), yakni kesasatan yang disebabkan sikap menerima secara membuta terhadap tradisi otoritas.


     Leibniz menciptakan simbolisme bagi konsep-konsep dan hubungan-hubungan seperti "dan", "atau"; menggarap implikasi antara konsep-konsep, ruang lingkup kelompok, ekuivalensi kelompok, ekuivalensi konseptual, dan lain-lain. John Stuart Mill (1806-1873), melalui karyanya System of Logic, berharap dan berkeyakinan bahwa jasa metodenya bagi Logika induktif sama besarnya dengan jasa Aristoteles bagi Logika deduktif. Bagi dia, pemikiran silogistis selalu mencakup suatu lingkaran setan (circulus vitiosus) karena kesimpulan sudah terkandung di dalam premis, sedangkan premis itu sendiri akhirnya bertumpu pada induksi empiris, (Poespoprodjo,1999).
       Ahli lain yang banyak berjasa dalam pengembangan pemikiran Logika adalah Henry Newman. Ia meninggalkan karya yang berjudul Essay in Aid of a Grammar of Assent (1870), ia mengadakan analisis fenomenologis yang tajam tentang pikiran manusia. Menurutnya, Logika ilmiah artifisial hanya dipakai oleh mereka yang bergelut di dunia ilmu, sedang Logika alami dipakai oleh sebagian besar orang sehingga mempunyai arti bagi sebagian besar orang. Menurut Newman terdapat tiga macam bentuk pemikiran, yaitu: (1) Formal inference, (2) Informal inference, dan (3) Natural inference. sungguh untuk memberi interpretasi pada bentuk yang sudah mapan seperti tentang proposisi A (affirmative universal), proposisi E (negative universal), proposisi I (affirmative particular), dan proposisi 0 (negative particular). Logika simbolik sudah dikembangkan, meskipun simbol teknis belum dibuat dan disepakati.

   Poespoprodjo (1999) menjelaskan bahwa tokoh yang bernama H.W.B. Joseph (1867-1943) dengan karyanya Introduction to Logic (1906) mengembangkan masalah esensialia dari subjek. Sedangkan Peter Coffey dalarn karyanya Science of Logic (1918) menggarap prosedur deduktif dan induktif dan kaitannya dengan metode ilmiah pengalaman.

  Persoalan yang ditekuni adalah: Mengapa kegiatan berpikir itu mungkin dilaksanakan? Untuk berpikir harus diandalkan dan dimiliki adanya struktur-dalam pikiran. Menurut caranya sendiri, kategori Aristoteles juga digarapnya, demikian pule bentukbentuk dasar logika tradisional. Karya Logik dari Hegel (1770-1831) merupakan kelanjutan dari tesis Kant yang berbunyi bahwa pengalaman dapat diketahui apabila sesuai dengan struktur pikiran. Hegel memandang tertib pikiran identik dengan tertib realitas. Logika dan ontologi merupakan satu kesatuan. Akibatnya apa yang disebut logika adalah metafisika.
   Tokoh-tokoh pengembang Logika yang lain antara lain J.M. Baldwin (1861- 1934) dengan karyanya Thought and Things: a Genetic Theory of Reality. Augustus De Morgan (1806-1871) dengan karyanya Formal Logic (1847). George Boole (1815-1846) melalui bukunya Mathematical Analysis of Logic dan Laws of Thought. mengabdikan logika pada matematika. Minatnya lebih diarahkan kepada teori probabilitas. G. Free (1848-1925) melalui karyanya Begriffsschrift. Friederich Wilhelm Karl Ernst Schroder (1841-1902) menyusan tiga buah jilid buku berjudul Algebra der Logik. Alfred North Whitehead (1861-1947) dengan karyanya Universal Algebra. David Hilbert dengan karyanya, Grundlagen der Geometric.
   Masuk pada zaman Renaissance abad XX, pengembangan Logika ditandai dengan terbitnya Principia Mathematica jilid I yang merupakan karya bersama A.N. Whitehead dan Bertrand A.W. Russell. Karya ini membuktikan bahwa matematika murni berasal dari logika. Sistem simbol Peano dipakai dan teorinya bertumpu pada elementary propositions, elementary propositional functions, assertion, assertion of a propositional function, negation, disjunction dan equivalence by definition. Pada Abad XX perkembangan logika secara de facto sudah mantap dan sudah dibakukan oleh Aristoteles, namun juga ditemukan beberapa kritik terhadap Logika tradisional tersebut.




Kesimpulan


Jadi, Sejarah perkembangan Epistemologi sejalan dengan perkembangan manusia memperoleh pengetahuan. Berdasarkan pengalaman manusia, pengetahuan dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu: pengetahuan spontan dan pengetahuan reflektif- sistematik.




Daftar Pustaka

Naskah buku Epistemologi dan Logika Pendidikan (L. Andriani P, dkk)






0 comments:

Post a Comment